- Perairan Indonesia menjadi salah satu tempat di dunia yang menjadi lokasi berkembang biak ikan Sidat (Anguilla spp). Ikan tersebut memiliki rupa seperti belut sawah (Manopterus albus) yang populer di Indonesia dan biasa ditemukan di rawa atau sawah
- Walau tidak populer di Indonesia, Sidat mendapat tempat istimewa pada kuliner negara-negara Asia Timur, terutama Jepang. Di sana, ikan tersebut dikenal dengan sebutan Unagi dan menjadi kuliner kesukaan warga Jepang.
- Besarnya permintaan terhadap Sidat di negara Asia Timur, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara pemasok Sidat ke negara-negara tersebut. Namun, untuk mendapatkannya, Sidat harus ditangkap dari alam dan dibesarkan di keramba jaring apung (KJA)
- Terus meningkatnya permintaan, maka tangkapan di alam juga meningkat dari waktu ke waktu. Untuk itu, agar Sidat bisa tetap bertahan di alam, Pemerintah Indonesia menyusun rencana pengelolaan perikanan (RPP) Sidat yang penyusunannya dilakukan bersama Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO)
Padahal, ikan tersebut popularitasnya sangat tinggi di negeri Asia Timur, seperti Jepang, Korea Selatan, Jepang, Tiongkok, dan Taiwan. Bahkan, khusus di Jepang, Sidat menjadi santapan favorit warganya dan dikenal dengan sebutan Unagi. Maka itu, tak heran jika orang Indonesia lebih mengenal sebutan Unagi ketimbang Sidat.
Sebagai ikan yang bisa hidup di hawa tropis, Sidat diketahui sudah dikembangkan oleh banyak pelaku usaha perikanan. Namun, menurut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), dari semua provinsi, Jabar dan Jateng yang sangat serius mengembangkan komoditas bernilai ekonomi tinggi itu.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap KKP Zulficar Mochtar mengatakan, di Jabar pengembangan Sidat dipimpin oleh Kabupaten Sukabumi, sementara di Jateng dilakukan oleh Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Cilacap. Ketiga daerah tersebut, kemudian dijadikan sebagai pusat pendataan untuk pengembangan Sidat di Indonesia.
Menurut Zulficar, pendataan harus dilakukan dengan segera dan cepat, karena pemanfaatannya terus meningkat setiap tahun. Bahkan bisa terancam punah bila jumlah penangkapan sidat dari alam tidak diatur.
“Ikan ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi, karena permintaan ekspor yang tinggi dari negara Asia Timur, namun justru pasokannya sangat terbatas. Tak heran, harganya pun menjadi mahal,” ucapnya, pekan lalu di Jakarta.
Zulficar mengakui, permintaan yang tinggi tersebut, mengakibatkan pelaku usaha penangkapan melakukan berbagai cara agar pasokan untuk ekspor bisa tetap ada, termasuk dengan mengambil Sidat secara langsung dari perairan umum. Sidat yang ditangkap dari alam tersebut, kemudian dibesarkan hingga mencapai ukuran yang layak untuk diekspor.
baca : Budidaya Lele, Potensi Primadona Ekspor Indonesia Selanjutnya

Terus meningkatnya penangkapan di alam, bisa terjadi karena hingga saat ini Sidat belum dibudidayakan pada tingkat hatchery (pusat pembenihan) dan itu mengakibatkan para pelaku usaha sangat bergantung pada benih yang ada di alam. Maka itu tak mengherankan jika ketersediaan Sidat di alam dari tahun ke tahun saat ini sedang terancam.
Salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penurunan Sidat di perairan, kata Zulficar, adalah dengan menyusun kebijakan, aturan, dan upaya-upaya pengelolaan untuk mewujudkan sumber daya ikan Sidat bisa berkelanjutan. Untuk mewujudkannya, diperlukan dukungan ketersediaan data statistik sebagai bahan analisis.
“Pendataan benih ikan Sidat antara lain menyangkut volume produksi, lokasi, spesies, alat tangkap yang digunakan, perahu/kapal yang digunakan, dan lain-lain,” ungkapnya.
Bentuk pendataan, dilakukan dengan fokus pada tiga lokasi di Jabar dan Jateng tadi, dan hasilnya didapatkan data bahwa Sidat yang diperoleh dari alam kemudian dibudidayakan oleh nelayan untuk dijual kemudian dengan harga yang bervariasi. Pendataan di tiga lokasi tersebut sudah berjalan dalam dua tahun terakhir.
Dari hasil validasi data, menunjukkan jika dibandingkan dengan periode sama pada 2018, hasil tangkapan Sidat di Cilacap pada Semester I 2019 meningkat hingga 23 persen, Kebumen meningkat hingga 536 persen, dan Sukabumi turun hingga 37 persen. Untuk penurunan tersebut, diduga kuat karena faktor musim kemarau yang lebih panjang dibanding tahun sebelumnya.
“Juga karena sungai mengering, sehingga benih Sidat tidak masuk ke sungai,” tambahnya.
baca juga : Wahh… Ikan Lele Laut Ternyata Berbisa

Pendataan Sidat yang sudah berlangsung, diperlukan untuk memenuhi kebutuhan data yang runtun waktu, konsisten, dan teratur. Selama ini, pendataan Sidat di Indonesia hanya fokus untuk konsumsi saja, sementara pendataan benih belum optimal dilakukan. Upaya pendataan tersebut, mendapat dukungan penuh dari Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO).
Menurut Zulficar, kerja sama dengan FAO dilakukan untuk menyusun rencana pengelolaan perikanan (RPP) Sidat di Indonesia agar bisa terwujud pengelolaan perikanan secara berkelanjutan di perairan darat. Sementara, untuk pengelolaan di perairan laut, itu sudah dilakukan oleh Indonesia sejak beberapa tahun lalu dan berfokus ke wilayah pantai Selatan Jawa.
perlu dibaca : Ekspor Tuna dari Indonesia, Amerika Serikat Tekankan Perikanan Berkelanjutan

National Project Manager FAO iFish Toufik Alansar menjelaskan, penyusunan RPP untuk Sidat memang mendesak untuk dilaksanakan. Dengan adanya RPP, maka pengelolaan Sidat bisa berjalan lebih baik lagi dan berkelanjutan. RPP dibuat, juga supaya perikanan Sidat Indonesia bisa terus bermanfaat secara ekonomi dan lestari untuk masyarakat.
Menurut Toufik, di dalam dokumen perencanaan pengelolaan ikan dengan tinggi tersebut, berisi arahan dalam pengelolaan perikanan Sidat yang bertanggung jawab. Adapun, penyusunan RPP memperhatikan prinsip-prinsip ekologi, biologi, sosial-ekonomi, dan kelembagaan yang mengedepankan kearifan lokal. Untuk perencanaan pengelolaan, disusun bersama dengan seluruh pemangku kepentingan.
Kepala Seksi Pemanfaatan Sumber Daya Ikan Perairan Darat KKP Dony Armanto menambahkan, RPP adalah kesepakatan yang dibuat antara Pemerintah Pusat maupun daerah, pelaku usaha, nelayan, pembudi daya, peneliti, akademisi, dan pemerhati lingkungan. Kesepakatan tersebut bertujuan untuk membangun pengelolaan perikanan Sidat Indonesia bertanggung jawab dan lestari.
Adapun, RPP akan berlaku secara nasional jika dokumennya sudah final untuk kemudian disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan, dengan maksud agar dokumen tersebut bisa menjadi acuan dalam mengelola perikanan Sidat secara bertanggung jawab. Mengingat akan menjadi acuan, maka RPP harus bisa mewakili seluruh elemen dan kepentingan dalam pengelolaan perikanan Sidat.
“Ke depan masih ada empat pertemuan besar yang tiga diantaranya akan dilakukan di lapangan, dan akan dibagi menjadi tiga wilayah, (yakni) wilayah barat, tengah dan timur. Harapannya, 2019 draf dokumen final (dan) dapat diselesaikan,” sebut dia.
Dony menjelaskan, sebelumnya sudah ada RPP perikanan Sidat di Indonesia, namun wilayah pemantauannya hanya fokus di sepanjang pantai Selatan Jawa. Padahal, potensi Sidat sudah ada di berbagai provinsi, seperti Poso (Sulawesi Tengah), Bengkulu, Aceh, Lampung, dan Bolaang Mongondow (Sulawesi Utara).

Hal itu, karena saat ini Indonesia menjadi salah satu negara penghasil Sidat terbesar di dunia, khususnya jenis Anguilla bicolor bicolor dan Anguilla marmorata. Status tersebut bisa didapat, karena selama ini Indonesia menjadi salah satu eksportir utama Sidat ke Jepang, dan selalu berhasil memenuhi permintaan dari negara tersebut.
“Perusahaan asing, terutama dari Jepang, juga menganggap kalau populasi Sidat di Indonesia masih banyak. Makanya, mereka mengimpor Sidat dari Indonesia untuk memenuhi kebutuhan mereka,” tuturnya.
Di sisi lain, anggapan dari para pelaku usaha dari luar negeri tersebut dinilai ada benarnya. Tetapi, menurut Dony, jika dibandingkan dengan dua puluhan tahun lalu, populasi Sidat di Indonesia sudah mengalami penurunan di perairan umum. Penyebabnya, karena terjadi kerusakan habitat, penangkapan berlebihan, pencemaran, hingga pembangunan bendungan.
Mengenal Sidat, Ikan yang Tak Kalah Bergizi dari Salmon
Banyuwangi - Pemerintah Kabupaten Banyuwangi berkolaborasi dengan TNI AL mengembangkan kampung sidat
di Dusun Jopuran, Desa Kampunganyar, Kecamatan Glagah. Kampung Sidat
“Sidawangi” itu diresmikan Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Danlantamal)
V Laksamana Pertama TNI Edwin bersama Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar
Anas yang ditandai dengan tebar benih Sidat, Rabu, 25 Juli 2018.
Edwin mengatakan, kerja sama ini sebagai bagian menyukseskan program kemaritiman nasional. Ini juga ikhtiar menunaikan amanat UUD 1945 untuk ikut mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat.
"Sidat ini merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang bisa memberikan kesejahteraan bagi warga. Kandungan gizinya juga lebih banyak dibandingkan ikan Salmon yang sudah lebih dikenal, sangat baik dikonsumsi untuk perkembangan otak anak," kata Danlantamal.
Danlatamal melanjutkan, pengembangan Kampung Sidat di Banyuwangi ini yang pertama dijalankan oleh TNI AL. Banyuwangi dipilih karena memiliki sumber mata air yang berlimpah, yang cocok untuk tempat budidaya Sidat.
Sidat dengan nama latin Ordo Angguiliformes, dalam bahasa Jepang Unagi. Terdapat 400 jenis ikan sidat di seluruh dunia. Di Indonesia terdapat enam jenis ikan sidat, habitat pertumbuhannya di hulu sungai dan danau.
Menurut Danlantamal, ikan sidat hanya mau hidup di air yang bersih. Meski hidup di air tawar, ikan tersebut berkembang biak di laut.
"Jadi, semua ekosistemnya harus dijaga baik yang didarat maupun yang di laut. Makanya budidaya Sidat sangat baik untuk lingkungan," ujar Danlantamal.
Kampung sidat ini berada di tengah areal persawahan Dusun Jopuran dan dikemas menjadi sebuah obyek wisata alam. Di kawasan tersebut, terdapat kolam-kolam sidat dengan air yang jernih. Maklum saja, airnya mengalir dari hulu pegunungan Ijen.
Di antara kolam tersebut terdapat pemandian alam hasil membendung aliran sungai di Banyuwangi. Di sekitar pemandian, penduduk juga bisa menikmati kuliner khas dusun setempat. Warung-warung di sekitar kampung yang didirikan warga itu menawarkan menu antara lain pepes sidat, abon daun singkong, dan pecel pitik.
Edwin mengatakan, kerja sama ini sebagai bagian menyukseskan program kemaritiman nasional. Ini juga ikhtiar menunaikan amanat UUD 1945 untuk ikut mencerdaskan dan menyejahterakan rakyat.
"Sidat ini merupakan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi yang bisa memberikan kesejahteraan bagi warga. Kandungan gizinya juga lebih banyak dibandingkan ikan Salmon yang sudah lebih dikenal, sangat baik dikonsumsi untuk perkembangan otak anak," kata Danlantamal.
Danlatamal melanjutkan, pengembangan Kampung Sidat di Banyuwangi ini yang pertama dijalankan oleh TNI AL. Banyuwangi dipilih karena memiliki sumber mata air yang berlimpah, yang cocok untuk tempat budidaya Sidat.
Sidat dengan nama latin Ordo Angguiliformes, dalam bahasa Jepang Unagi. Terdapat 400 jenis ikan sidat di seluruh dunia. Di Indonesia terdapat enam jenis ikan sidat, habitat pertumbuhannya di hulu sungai dan danau.
Menurut Danlantamal, ikan sidat hanya mau hidup di air yang bersih. Meski hidup di air tawar, ikan tersebut berkembang biak di laut.
"Jadi, semua ekosistemnya harus dijaga baik yang didarat maupun yang di laut. Makanya budidaya Sidat sangat baik untuk lingkungan," ujar Danlantamal.
Kampung sidat ini berada di tengah areal persawahan Dusun Jopuran dan dikemas menjadi sebuah obyek wisata alam. Di kawasan tersebut, terdapat kolam-kolam sidat dengan air yang jernih. Maklum saja, airnya mengalir dari hulu pegunungan Ijen.
Di antara kolam tersebut terdapat pemandian alam hasil membendung aliran sungai di Banyuwangi. Di sekitar pemandian, penduduk juga bisa menikmati kuliner khas dusun setempat. Warung-warung di sekitar kampung yang didirikan warga itu menawarkan menu antara lain pepes sidat, abon daun singkong, dan pecel pitik.
Dukungan Pemkab
Sementara itu, Bupati Anas menyambut baik program kolaboratif pengembangan Kampung Sidat ini. Program ini, adalah bagian gerakan 10.000 ribu kolam yang digagas Banyuwangi untuk meningkatkan produksi perikanan darat."Syukur, saat ini budidaya sidat di Banyuwangi sudah mulai banyak dikembangkan oleh warga lokal. Kalau dulu kan hanya korporasi yang mengembangkan. Dengan mulai dikembangkan lebih masif, harapannya semoga kesejahteraan warga juga meningkat karena nilai jualnya yang tinggi dibanding ikan tawar lain," tutur dia.
Anas optimistis budidaya sidat di Banyuwangi akan semakin berkembang. Karena, lanjut dia, Kemenko Maritim pernah merilis kualitas air baku di Banyuwangi cocok untuk budidaya perikanan, termasuk sidat.
Dari hasil penelitian per 25 miligram sampel terdapat 550 ribu koloni bakteri. Adapun di Banyuwangi dengan sampel yang sama, hanya mengandung 10 ribu koloni bakteri.
"Saya akan meminta Dinas Perikanan dan Kelautan untuk mulai menggalakkan kolam sidat kelompok pembudidaya melihat manfaatnya yang besar ini. Contohnya pondok pesantren yang sebagian besar memelihara lele, perlahan akan kami ajari budidaya sidat," kata Anas.